Uang
di dompet sudah tak bersisa, hanya beberapa recehan seratus rupiah yang
jumlahnya tak lebih dari 10 keping. Sore itu sepulang kerja, aku memutuskan
untuk pergi ke ATM BNI sebentar. Letaknya tidak terlalu jauh, tapi bisa juga
dikatakan dekat, dengan kendaraan mungkin bisa ditempuh dengan waktu sekitar 5
menit juga kurang dan ongkosnya hanya Rp 2000 untuk angkot, Rp 5000 untuk ojeg.
Tetapi
sudah menjadi kebiasaanku, aku selalu menaiki trotoar setiap pulang kerja.
Untung tidak hujan, jadi aku leluasa melangkahkan kakiku dengan irama jalan
semauku. Meski begitu aku berjalan hati-hati, memilih jalan kering untuk aku
injak, banyak sekali kubangan air yang kudapati hingga terkadang aku lengah dan
akhirnya kakiku terjerembab juga ke kubangan itu, basahlah sepatu dan kakiku.
Entah
kenapa sudah seminggu ini suasana hatiku gelisah tak menentu, aku tak tahu
pasti penyebabnya (sebenarnya tahu, tapi malas rasanya menceritakannya disini.
Lebih baik bilang tidak tahu agar tidak menjadi cerita yang panjang). Aku berjalan melewati ruko-ruko yang berjejer
di sepanjang jalan. Setiap melewati warung sate, para karyawannya selalu
menyempatkan diri untuk sekedar menyapa “baru pulang teh? Mau dianterin ga?” ,
entah itu sapaan, genit genitan atau apalah namanya. Tapi aku selalu senang
jika ada orang baru berusaha menyapaku. Dan aku selalu menjawab, “ya, ga usah”
sambil tersenyum dan berlalu pergi.
Sapaan
dari para pelayan sewaktu pulang kerja menjadi warna tersendiri dalam
hari-hariku.
Perjalanan
dari kantor sampai ATM BNI memerlukan waktu sekitar 15-20 menit. Tiba disana
buru-buru aku mengambil uang, takut hujan. Jam menunjukkan pukul 17.45. Akibat
suasana hati yang tak menentu ternyata juga berpengaruh pada kondisi fisikku,
lelah berjalan rasanya. Ingin pulang dengan angkot atau ojeg, tapi tak ada uang
kecil. Lalu mataku tertuju pada warung
seafood di dekat ATM BNI. Tanpa ba-bi-bu lagi kakiku melesat berjalan kesana.
Ku lihat daftar makanan, lalu ku pilih makanan yang belum pernah aku makan
“ikan cue bakar”. Soalnya, waktu dikantor makan siang dengan lauk pauk ikan
fatin, lalu temanku bilang “mendingan ikan cue dari pada ini”. dan kebetulan
sekali nama ikan itu ada di daftar menu, jadi ku pilih saja.
Selesai
memesan menu, aku duduk di salah satu meja. Duduk sendiri lebih tepatnya. Iri
melihat orang lain dengan pasangannya bahkan pengunjung yang duduk di jajaranku
paling ujung sebelah kanan, makan bersama pasangannya dihiasi lilin putih.
Padahal ruangan sangat terang dengan lampu neon, sama sekali tidak gelap. Oh,
mungkin ada tujuan lilin dari keberadaan lilin itu diatas meja, agar lalat
tidak menempel ke makanan (sekali lagi ini mungkin). Lalu datang lagi
pengunjung lain beserta teman-temannya, ada juga yang datang bersama
keluarganya.
Aku
hanya mengelus dada.
Makanan
yang ditunggu pun datang. Ikan cue bakar berikut sambalnya, nasi, dan es teh
tawar . aku langsung melahap habis makanan itu tanpa sisa kecuali tulang-tulang
ikannya. Setelah makan selesai tibalah giliran dompet ku yang bertugas. Aku
pergi ke kasir menanyakan total semua makanan, dan alangkah kagetnya diriku
ketika aku mendengar angka yang disebutkan pelayan, “Rp 62.000, mbak!”
APAAAAA?
Mataku
mengintip bill yang sedang dihitung ulang oleh pelayan. Dan melihat harga yang
tertulis.
“harga
ikan cue nya itu serius mas 52 ribu?”
“Iya
mbak. Ikan cue emang segitu harganya.”
Aku
pulang dengan perasaan lemas. Ini akhir bulan, rencananya uang yang aku ambil
tadi jatah untuk seminggu ke depan sampai aku gajian tapi ternyata harus
berakhir disini.
Mungkin
lain kali, aku akan lebih teliti lagi sebelum makan. “BERTANYA HARGA TERLEBIH DAHULU BARU MAKAN” ini berlaku hanya di
akhir bulan.