Rabu, 11 September 2013

Guru Honorer 1

           Sejak dinyatakan lulus tanggal 30 agustus 2013, saya dilanda galau berkepanjangan. Penyebabnya adalah akan kemanakah saya setelah ini? Semenjak itu juga saya sudah tidak memiliki alasan untuk menetap di Bandung. Dengan perasaan sangat terpaksa saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Selama 4 tahun tinggal di Bandung membuat saya merasa seperti sudah menjadi orang Bandung.  Pulang ke kampung halaman dengan gelar sarjana pendidikan lantas tidak membuat saya memiliki julukan baru, yaitu sarjana pengangguran. 
 
Sebelum sidang skripsi pun saya sudah diminta untuk mengajar di sebuah SMA negeri di  subang tentunya dengan status sebagai guru honorer. Kebetulan di sekolah tersebut guru bahasa jepangnya cuti hamil dan melahirkan jadi saya diminta untuk menggantikan untuk sementara. Karena jadwal saya juga tidak sibuk-sibuk amat akhirnya saya menerima tawaran tersebut dengan gaji 25.000/jam. Sementara itu saya harus mengajar selama 26 jam dalam seminggu. 26 jam itu berarti saya harus masuk ke 13 kelas dalam seminggu dan saya memiliki hari libur satu hari yaitu hari rabu. Jika dihitung-hitung 25.000 X 26 jam X 4= 2.600.000 ,- wow angka yang cukup fantastis untuk ukuran guru honorer! Standar gaji honorer satu bulan adalah 400.000 sampai 700.000. Ok! Mungkin saya yang salah menafsirkan angka yang dikalikan dengan Rp 25.000. Yang jelas, di sekolah tempat saya mengajar gaji honorer ditentukan dengan jumlah jam mengajar. 

Tanggal 3 september saya menerima gaji honorer pertama saya sebesar Rp 500.000,- padahal saya baru mengajar selama 2 minggu itupun dua kali bolos karena saya harus ikut ujian sidang. Dua kali bolos artinya saya tidak masuk ke 4 kelas, kebetulan itu hari jumat, hari jumat saya hanya mengajar 2 kelas saja. Guru  bahasa jepangnya bilang kalau itu sudah ditambah dengan uang dari LKS. Saya baru tahu bahwa dari pembelian LKS siswa, guru pun mendapat bagian. 

Uang Rp 500.000 tentu saja tidak besar tapi cukup. Setidaknya untuk menutupi biaya transportasi. Jarak dari rumah saya ke sekolah memerlukan waktu sekitar 30 menit memakai motor dan satu jam menggunakan angkot. Ayah saya yang baik hati selalu mengantar saya pergi ke sekolah dari mulai SMP, SMA. Kali ini pun beliau mengantar saya ke sekolah untuk mengajar. Jika tidak pakai motor maka saya harus mengeluarkan uang sekitar Rp 15.000 per hari hanya untuk transportasi. Itu artinya pengeluaran saya 60.000 hanya untuk transportasi selama seminggu. Tapi untungnya tidak sebesar itu, saya hanya mengeluarkan 36.000 per minggu saja. Itu untuk transportasi saja ya belum lagi kalau saya ingin jajan, biasanya saya beli somai seharga 5000. Kurang lebih pengeluaran saya selama sebulan adalah RP 200.000. itu pun ibu saya selalu membuatkan bentou untuk saya. tujuannya sih biar saya gak jajan. Tapi kenyataannya memang hasrat untuk jajan itu tidak terelakkan. Gaji sebagai guru honorer memang tidak sebanding dengan jumlah jam mengajar saya. Sewaktu menjadi guru privat saya dibayar 38.000 untuk satu kali pertemuan dan satu anak. Sebulan saya menerima gaji kurang lebih RP 400.000. Belum lagi saya diberi uang transport oleh orang tuanya karena memang jarak rumahnya yang cukup jauh dari tempat saya kos. 

Sepertinya status saya sebagai guru honorer akan segera berakhir. Dan saya ingin segera mengakhirinya. Saya masih muda. Kehidupan menjadi guru di kampung halaman membuat saya merasa bahwa “kok hidup gue flat banget?” sebuah tanda tanya besar. Saya tidak menikmati status saya sebagai guru. Tidak ada tantangan yang membuat saya untuk survive dalam menjalani hidup. Hari-hari setelah menyelesaikan skripsi terasa begitu membosankan.   Semoga saya di terima bekerja perusahaan yang memanggil saya untuk wawancara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar