Sejak dinyatakan lulus tanggal 30 agustus 2013, saya
dilanda galau berkepanjangan. Penyebabnya adalah akan kemanakah saya setelah
ini? Semenjak itu juga saya sudah tidak memiliki alasan untuk menetap di
Bandung. Dengan perasaan sangat terpaksa saya memutuskan untuk kembali ke kampung
halaman. Selama 4 tahun tinggal di Bandung membuat saya merasa seperti sudah
menjadi orang Bandung. Pulang ke kampung
halaman dengan gelar sarjana pendidikan lantas tidak membuat saya memiliki
julukan baru, yaitu sarjana pengangguran.
Sebelum sidang skripsi pun saya sudah diminta untuk
mengajar di sebuah SMA negeri di subang
tentunya dengan status sebagai guru honorer. Kebetulan di sekolah tersebut guru
bahasa jepangnya cuti hamil dan melahirkan jadi saya diminta untuk menggantikan
untuk sementara. Karena jadwal saya juga tidak sibuk-sibuk amat akhirnya saya
menerima tawaran tersebut dengan gaji 25.000/jam. Sementara itu saya harus
mengajar selama 26 jam dalam seminggu. 26 jam itu berarti saya harus masuk ke
13 kelas dalam seminggu dan saya memiliki hari libur satu hari yaitu hari rabu.
Jika dihitung-hitung 25.000 X 26 jam X 4= 2.600.000 ,- wow angka yang cukup
fantastis untuk ukuran guru honorer! Standar gaji honorer satu bulan adalah
400.000 sampai 700.000. Ok! Mungkin saya yang salah menafsirkan angka yang
dikalikan dengan Rp 25.000. Yang jelas, di sekolah tempat saya mengajar gaji
honorer ditentukan dengan jumlah jam mengajar.
Tanggal 3 september saya menerima gaji honorer
pertama saya sebesar Rp 500.000,- padahal saya baru mengajar selama 2 minggu
itupun dua kali bolos karena saya harus ikut ujian sidang. Dua kali bolos
artinya saya tidak masuk ke 4 kelas, kebetulan itu hari jumat, hari jumat saya
hanya mengajar 2 kelas saja. Guru bahasa
jepangnya bilang kalau itu sudah ditambah dengan uang dari LKS. Saya baru tahu
bahwa dari pembelian LKS siswa, guru pun mendapat bagian.
Uang Rp 500.000 tentu saja tidak besar tapi cukup. Setidaknya
untuk menutupi biaya transportasi. Jarak dari rumah saya ke sekolah memerlukan
waktu sekitar 30 menit memakai motor dan satu jam menggunakan angkot. Ayah saya
yang baik hati selalu mengantar saya pergi ke sekolah dari mulai SMP, SMA. Kali
ini pun beliau mengantar saya ke sekolah untuk mengajar. Jika tidak pakai motor
maka saya harus mengeluarkan uang sekitar Rp 15.000 per hari hanya untuk
transportasi. Itu artinya pengeluaran saya 60.000 hanya untuk transportasi
selama seminggu. Tapi untungnya tidak sebesar itu, saya hanya mengeluarkan
36.000 per minggu saja. Itu untuk transportasi saja ya belum lagi kalau saya
ingin jajan, biasanya saya beli somai seharga 5000. Kurang lebih pengeluaran
saya selama sebulan adalah RP 200.000. itu pun ibu saya selalu membuatkan
bentou untuk saya. tujuannya sih biar saya gak jajan. Tapi kenyataannya memang
hasrat untuk jajan itu tidak terelakkan. Gaji sebagai guru honorer memang tidak
sebanding dengan jumlah jam mengajar saya. Sewaktu menjadi guru privat saya
dibayar 38.000 untuk satu kali pertemuan dan satu anak. Sebulan saya menerima
gaji kurang lebih RP 400.000. Belum lagi saya diberi uang transport oleh orang
tuanya karena memang jarak rumahnya yang cukup jauh dari tempat saya kos.
Sepertinya status saya sebagai guru honorer akan
segera berakhir. Dan saya ingin segera mengakhirinya. Saya masih muda. Kehidupan
menjadi guru di kampung halaman membuat saya merasa bahwa “kok hidup gue flat
banget?” sebuah tanda tanya besar. Saya tidak menikmati status saya sebagai
guru. Tidak ada tantangan yang membuat saya untuk survive dalam menjalani
hidup. Hari-hari setelah menyelesaikan skripsi terasa begitu membosankan. Semoga saya
di terima bekerja perusahaan yang memanggil saya untuk wawancara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar