Wisuda, 18 desember 2013 |
Ba.....pak....!
Mungkin ini foto pertama kita.
Kita berfoto berdua berdiri berdampingan.
Kau berdiri tepat persis di sebelahku
Apakah kau merasa bangga dengan anakmu ini?
Tapi sayang, difoto itu kenapa aku tidak terlihat cantik ya? Namun kau
tampak gagah berdiri mendampingiku hingga aku berusia 22 tahun ini.
Sudah sekian lama rasanya aku ingin berfoto denganmu. Seperti anak-anak
lain, dekat dengan ayahnya, bermanja-manjaan. Aku bukannya tidak bisa, namun
rasanya aneh jika aku bersikap seperti itu. Apakah aku pantas melakukannya?
Aku adalah anak pertama. Dulu saat aku lahir, mungkin umurmu sekitar 24
tahun. Kau waktu itu tampak begitu muda, gagah dan tampan sekali. Aku pernah
melihat fotomu yang sewaktu muda. Pasti banyak sekali gadis cantik yang
melirikmu.
Di usiamu dulu yang masih muda kemudian
aku hadir dalam hidupmu, kadang aku bertanya, “apakah kau bahagia dengan
kehadiranku?”, lalu jika iya, kenapa hubungan kita tak seperti hubungan
anak-ayah pada umumnya yang penuh dengan suasana akrab.
Dulu kau masih muda, mungkin masih labil (menurutku) dalam mendidikku.
Kau tampak emosian, tidak sabaran, kau sibuk sekali dengan pekerjaanmu (mungkin
karena kau dulu masih muda, semangatnya masih berapi-api). Masih tertanam jelas
dibenakku, ketika kau marah dan membentakku saat aku tak bisa mengerjakan PR,
saat aku tak bisa menjawab pertanyaan seputar hitngan pekalian. Setiap kali kau
membentakku, tentu saja aku menangis tersedu-sedu. Namun terkadang juga aku
berusaha menahannya dan tertunduk takut. Meskipun terjadi saat aku kecil dulu,
aku selalu saja ingin menangis jika mengingat kejadian hal itu. Kenapa? Kenapa
harus seperti itu? Namun cara mendidikmu berhasil membuat aku jadi seperti ini.
Aku sangat berterima kasih atas didikan yang kau berikan padaku. Aku bisa hapal
perkalian saat aku kelas 2 SD. Aku bisa sekolah di SMP, SMA favorit (meski
hanya di subang), masuk universitas negeri dan sekarang aku sudah bekerja. Itu
semua pasti berkat didikanmu dan doamu yang tak pernah putus.
Namun dibalik semua itu aku sangat menderita dan tersiksa, aku tumbuh
menjadi gadis yang pemurung, pendiam, penakut tidak percaya diri, aku tumbuh
menjadi orang yang pasif. Aku tak berani menyapa, tersenyum kepada orang lain
terlebih dulu. Aku takut. Tidak tahu kenapa. Pernah aku merasa seperti tidak
dianggap oleh orang-orang sekitar. Aku selalu merasa minder ketika ada teman
yang supel, cantik, narsis. Aku takut berteman dengan mereka. Takut kalau
mereka akan mengacuhkanku.
Mungkin kau tidak tahu, masa-masa TK dan SD adalah masa-masa yang
paling membuatku merasa menderita. Kau tahu? Betapa aku harus berjuang keras
ketika aku mau berbicara denganmu. Bahkan aku harus latihan terlebih dahulu di
kamar sebelum mengutarakannya kepadamu. Aku takut kau tidak menjawab pertanyaan
ataupun permintaanku. Karena kau sering mengacuhkanku jika aku berbicara. Jadi,
aku merasa , “apakah aku ini orang yang penting sehingga kau harus menjawab
pertanyaannku?”. Kita memang jarang bicara kecuali soal sekolah. Sudah hanya
itu! Kita tak pernah membicarakan soal hal lain.
Mama bilang, kau sering menggendongku saat aku belum bisa berjalan,
apakah itu benar? Rasanya aku tidak ingat hal itu. Semua hal yang ada dibenakku adalah cara
mendidikmu yang keras terhadapku. Kau bukanlah militer tapi kau bertindak
otoriter terhadapku. Apakah kau lupa bahwa aku ini seorang anak perempuanmu
yang manis?
Selepas lulus SD, sedikit demi sedikit aku mulai memiliki percaya diri
bahkan aku mulai berani menyapamu. Sekarang aku tak takut lagi jika ada PR dari
sekolah. Aku sudah mampu mengerjakannya sendiri sehingga aku tak perlu
mendengar bentakanmu lagi. Kemudian aku beranjak ke SMA, kehidupan SMA pun
semakin lebih baik. Hubungan kita pun semakin membaik. Jarak yang lebar itu
semakin menipis sekarang.
Aku memutuskan untuk kuliah di bandung. Kita menjadi jarang bertemu,
hanya bertemu seminggu sekali. Setiap aku pulang, kau selalu menawari makan.
Tapi sampai saat itu aku belum berani memberi perhatian padamu, sekedar untuk
menawari makan.
Aku tahu kau sangat sayang padaku, begitu besarnya rasa khawatir kau
ketika aku jauh darimu. Mungkin aku melupakan kasih sayang dan rasa peduli
terhadapku. Bagaimana tidak? Sejak TK sampai kuliah bahkan bekerja kau selalu
menjadi ojek pribadiku, kemana-mana selalu mengantarkanku. Sudah kubilang aku
ingin membawa motor sendiri. tapi kau bilang, “bapak, khawatir nanti kamu
kenapa-napa.” sebenarnya aku sebal. Kau pilih kasih. Kenapa kau mengijinkanku
adikku yang masih kelas 3 SMP. Sementara aku tidak? Apa karena aku ini anak yang
penakut dan manja? Ya mungkin itulah image yang secara tidak langsung aku
munculkan di hadapan bapakku.
Sebentar lagi usiaku 23. Sekarang aku sudah berubah pak. Sekarang aku
berani menyapamu. Bahkan kemarin sewaktu teman-temanku dari cikarang datang ke rumah,
aku menawarimu makan bukan? Aku bertindak layaknya seorang anak kepada ayahnya.
Dalam diammu, aku tahu bahwa kau sangat mengkhawatirkanku. Saat aku
pindah kosan dari pulo kapuk ke kedasih, kau tak ikut membantuku pindah-pindah.
Ya, aku tak masalah. Tapi ternyata justru itu menjadi masalah buatmu. Kau
khawatir akan kondisi kosan baruku di kedasih sehingga waktu itu kau
bela-belain menjengukku ke kosan padahal kondisi badanmu sedang tak sehat.
Terima kasih selalu mengkhawatirkanku dalam diammu.
Maafkan aku yang selama ini belum bisa membuatmu bangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar