Rabu, 01 Januari 2014

Tersembunyi dalam Diam

Wisuda, 18 desember 2013

Ba.....pak....!
Mungkin ini foto pertama kita.
Kita berfoto berdua berdiri berdampingan.
Kau berdiri tepat persis di sebelahku
Apakah kau merasa bangga dengan anakmu ini?

Tapi sayang, difoto itu kenapa aku tidak terlihat cantik ya? Namun kau tampak gagah berdiri mendampingiku hingga aku berusia 22 tahun ini.


Sudah sekian lama rasanya aku ingin berfoto denganmu. Seperti anak-anak lain, dekat dengan ayahnya, bermanja-manjaan. Aku bukannya tidak bisa, namun rasanya aneh jika aku bersikap seperti itu. Apakah aku pantas melakukannya?

Aku adalah anak pertama. Dulu saat aku lahir, mungkin umurmu sekitar 24 tahun. Kau waktu itu tampak begitu muda, gagah dan tampan sekali. Aku pernah melihat fotomu yang sewaktu muda. Pasti banyak sekali gadis cantik yang melirikmu.

Di usiamu dulu yang masih muda kemudian  aku hadir dalam hidupmu, kadang aku bertanya, “apakah kau bahagia dengan kehadiranku?”, lalu jika iya, kenapa hubungan kita tak seperti hubungan anak-ayah pada umumnya yang penuh dengan suasana akrab.

Dulu kau masih muda, mungkin masih labil (menurutku) dalam mendidikku. Kau tampak emosian, tidak sabaran, kau sibuk sekali dengan pekerjaanmu (mungkin karena kau dulu masih muda, semangatnya masih berapi-api). Masih tertanam jelas dibenakku, ketika kau marah dan membentakku saat aku tak bisa mengerjakan PR, saat aku tak bisa menjawab pertanyaan seputar hitngan pekalian. Setiap kali kau membentakku, tentu saja aku menangis tersedu-sedu. Namun terkadang juga aku berusaha menahannya dan tertunduk takut. Meskipun terjadi saat aku kecil dulu, aku selalu saja ingin menangis jika mengingat kejadian hal itu. Kenapa? Kenapa harus seperti itu? Namun cara mendidikmu berhasil membuat aku jadi seperti ini. Aku sangat berterima kasih atas didikan yang kau berikan padaku. Aku bisa hapal perkalian saat aku kelas 2 SD. Aku bisa sekolah di SMP, SMA favorit (meski hanya di subang), masuk universitas negeri dan sekarang aku sudah bekerja. Itu semua pasti berkat didikanmu dan doamu yang tak pernah putus.

Namun dibalik semua itu aku sangat menderita dan tersiksa, aku tumbuh menjadi gadis yang pemurung, pendiam, penakut tidak percaya diri, aku tumbuh menjadi orang yang pasif. Aku tak berani menyapa, tersenyum kepada orang lain terlebih dulu. Aku takut. Tidak tahu kenapa. Pernah aku merasa seperti tidak dianggap oleh orang-orang sekitar. Aku selalu merasa minder ketika ada teman yang supel, cantik, narsis. Aku takut berteman dengan mereka. Takut kalau mereka akan mengacuhkanku.

Mungkin kau tidak tahu, masa-masa TK dan SD adalah masa-masa yang paling membuatku merasa menderita. Kau tahu? Betapa aku harus berjuang keras ketika aku mau berbicara denganmu. Bahkan aku harus latihan terlebih dahulu di kamar sebelum mengutarakannya kepadamu. Aku takut kau tidak menjawab pertanyaan ataupun permintaanku. Karena kau sering mengacuhkanku jika aku berbicara. Jadi, aku merasa , “apakah aku ini orang yang penting sehingga kau harus menjawab pertanyaannku?”. Kita memang jarang bicara kecuali soal sekolah. Sudah hanya itu! Kita tak pernah membicarakan soal hal lain.

Mama bilang, kau sering menggendongku saat aku belum bisa berjalan, apakah itu benar? Rasanya aku tidak ingat hal itu.  Semua hal yang ada dibenakku adalah cara mendidikmu yang keras terhadapku. Kau bukanlah militer tapi kau bertindak otoriter terhadapku. Apakah kau lupa bahwa aku ini seorang anak perempuanmu yang manis?

Selepas lulus SD, sedikit demi sedikit aku mulai memiliki percaya diri bahkan aku mulai berani menyapamu. Sekarang aku tak takut lagi jika ada PR dari sekolah. Aku sudah mampu mengerjakannya sendiri sehingga aku tak perlu mendengar bentakanmu lagi. Kemudian aku beranjak ke SMA, kehidupan SMA pun semakin lebih baik. Hubungan kita pun semakin membaik. Jarak yang lebar itu semakin menipis sekarang.

Aku memutuskan untuk kuliah di bandung. Kita menjadi jarang bertemu, hanya bertemu seminggu sekali. Setiap aku pulang, kau selalu menawari makan. Tapi sampai saat itu aku belum berani memberi perhatian padamu, sekedar untuk menawari makan.

Aku tahu kau sangat sayang padaku, begitu besarnya rasa khawatir kau ketika aku jauh darimu. Mungkin aku melupakan kasih sayang dan rasa peduli terhadapku. Bagaimana tidak? Sejak TK sampai kuliah bahkan bekerja kau selalu menjadi ojek pribadiku, kemana-mana selalu mengantarkanku. Sudah kubilang aku ingin membawa motor sendiri. tapi kau bilang, “bapak, khawatir nanti kamu kenapa-napa.” sebenarnya aku sebal. Kau pilih kasih. Kenapa kau mengijinkanku adikku yang masih kelas 3 SMP. Sementara aku tidak? Apa karena aku ini anak yang penakut dan manja? Ya mungkin itulah image yang secara tidak langsung aku munculkan di hadapan bapakku. 

Sebentar lagi usiaku 23. Sekarang aku sudah berubah pak. Sekarang aku berani menyapamu. Bahkan kemarin sewaktu teman-temanku dari cikarang datang ke rumah, aku menawarimu makan bukan? Aku bertindak layaknya seorang anak kepada ayahnya.

Dalam diammu, aku tahu bahwa kau sangat mengkhawatirkanku. Saat aku pindah kosan dari pulo kapuk ke kedasih, kau tak ikut membantuku pindah-pindah. Ya, aku tak masalah. Tapi ternyata justru itu menjadi masalah buatmu. Kau khawatir akan kondisi kosan baruku di kedasih sehingga waktu itu kau bela-belain menjengukku ke kosan padahal kondisi badanmu sedang tak sehat.

Terima kasih selalu mengkhawatirkanku dalam diammu.

Maafkan aku yang selama ini belum bisa membuatmu bangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar